By: Muhammad Antonio Gayo
Gambar Kemiskinan di Aceh |
Kemiskinan
terus mendera Aceh, bahkan garis kemiskinan di kota yang dikenal dengan julukan
Serambi Mekkah ini kian bertambah. Hal ini tak lain disebabkan jumlah
pengangguran yang juga semakin bertambah. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik)
pengangguran di Aceh per-Februari 2011 terhitung sekitar 171.000 orang. Tentu jika
kita melihat ke belakang tepatnya bulan Agustus di tahun 2010, jumlah
pengangguran meningkat 9000 orang dari 162.000 orang. Apa yang salah mengenai
hal ini?
Kenapa saya coba mengambil
judul “Kemiskinan di Aceh bak Buaya yang Membudaya” dari tema POVERTY AND ACEH,
karena saya melihat Aceh bukan seburuk-buruknya kota/provinsi. Aceh kaya akan
hasil bumi dan alam nya. Aceh memiliki Keindahan Alam yang bisa kita jual dalam
sektor Pariwisata, bahkan Budaya Aceh yang kental itu sendiri bisa kita jual
sebagai gambaran betapa kaya nya sumber daya yang ada di Aceh ini, sebagai
contoh adalah Bali.
Lalu kembali kita
bertanya dimana faktor X kemiskinan di Aceh itu? Jika kita membahas masalah
pendidikan, Pelajar, Mahasiswa/I dan Pendidik di Aceh bukan sebodoh-bodohnya seorang manusia.
Lihat saja, tak sedikit Mahasiswa/I Aceh yang berprestasi di dalam Negeri dan
bahkan di luar Negeri.
Saya sendiri lebih
tertarik untuk menyingkap masalah Budaya di Aceh sebagai salah satu faktor
kemiskinan di Aceh. Dari ilmu yang saya terima dalam mata kuliah Ekonomi Makro
di kampus FE Unsyiah tercinta ini, wawasan saya seakan terbuka saat Bapak dosen
menjelaskan bahwa Faktor Budaya sebagai salah satu faktor besar penyebab
kemiskinan di Aceh.
Saya cenderung melihat
mengenai istilah “uang tidur” di Aceh. ya, uang tidur itu diartikan sebagai Uang
yang disimpan di Bank atau dibelikan dalam bentuk asset yang tak bergerak
seperti emas,tanah,dll. Hal ini bertujuan untuk berjaga-jaga (salah satu motif
memegang uang). Tapi tahukah bahwa Uang tidur itu bak menjadi budaya buruk yang
melekat dalam masyarakat Aceh. Hal itu
menyebabkan aliran uang tak berputar/perokonomian tersendat. Alangkah baiknya
jika Masyarakat Aceh mau menginvestasikan uangnya untuk membangun sebuah usaha
dan otomatis menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat Aceh yang menganggur.
Lalu ada juga istilah
"Lahan tidur". Ini diartikan sebagai lahan kosong yang dibiarkan begitu saja. Ini
juga fakta yang kita dapat lihat langsung di sekitar kita. Banyak lahan kosong
yang dibiarkan begitu saja. Andaikata lahan itu dibangun sebuah Lapangan
pekerjaan, tentu itu akan membantu bagi mereka yang menganggur. Dalam konteks
terkecil saja, jika tanah itu dibangun sebuah rumah/komplek tentu akan menyerap
banyak tenaga kerja.
Bahkan jika kita
melihat fenomena Mahasiswa yang terjadi di sekitar kita seperti tak
mencerminkan bahwa Banda Aceh adalah salah satu kota Pelajar di Indonesia. lihat
saja bagaimana mereka “Mahasiswa” lebih cenderung memilih untuk duduk/nongkrong
di warung kopi menghabiskan waktunya yang sia-sia dengan Seperangkat Laptop dan
Game di depannya. Berbeda dari apa yang saya lihat mengenai pelajar di Jawa. Mungkin
itu kenapa pentingnya berwirausaha untuk mencegah penyebab kemiskinan yaitu pengangguran yang tercerminkan dalam tujuan Organisasi Inkubator
di Kampus Ekonomi Unsyiah.
Balik ke Data mengenai
kemiskinan di Aceh, angka garis kemiskinan di Aceh pada maret 2010 adalah
Rp.211.726,- per kapita perbulan. Silahkan saja kita menyalahkan pemerintah yang
mungkin kurang peka terhadap hal ini. dan juga kita bisa menyimpulkan bahwa
pemerintah tak mampu menjadikan Aceh sebagai daerah yang menarik Investor. Tapi
apa salahnya jika kita mampu merubah diri kita dahulu untuk lebih peduli
terhadap kemiskinan yang mendera Aceh, terutama menghilangkan budaya yang saya
paparkan sedemikian tadi.
Pernah saya membaca
sebuah cerita ada seorang anak muda yang ingin mengubah Dunia, namun ketika dia
remaja dia tak mampu melakukannya. Lalu dia memutuskan untuk mengubah Negara,
lalu semakin dewasa dia semakin tak bisa melakukannya. Lalu dia berkeputusan
untuk merubah Kota nya, tapi kembali lagi dia tak bisa melakukannya. Hingga akhirnya
dia semakin tua, dan dia berkeputusan untuk mengubah keluarganya saja, tapi dia
juga gagal melakukannya. Dan akhirnya dia juga gagal mengubah dirinya sendiri.
Lalu dia Flashback,
seandainya aku mengubah diriku dahulu. Mungkin aku bisa mengubah keluargaku,
lalu aku bisa mengubah kota ku, Negara ku dan bahkan dunia. Pesan dari kutipan
di atas adalah “Ubah dulu dirimu sendiri”
Referensi: Harian Aceh
BPS (Badan Pusat Statistik)
BPS (Badan Pusat Statistik)